Narasi Usang
Sebuah pilihan, menemaniku yang ragu di tepi reruntuhan. Haruskah kembali memulai, atau memilih berakhir dengan usai. Setetes darah jatuh, lalu embun dimataku meluruh, ragaku lusuh rasanya seperti kertas basah yang rapuh. Mengapa? Ada sakit dihatiku yang tak pernah sembuh. Hingga denyut keras dikepalaku menuntut teriak atas mulut yang tak pernah riuh. Tuhan, apa ini kutukan? Setidaklayak apa aku menemui kebahagiaan? Rasanya hanya ada lara yang tak berkesudahan. Sampai-sampai terpilih kata selesai dengan menggoreskan runcingnya serpihan pada kulit yang membungkus nadi dan harapan. Apakah lelah bagiku salah? Lalu dengan lancangnya aku hanya dituntut untuk tak marah dan tetap melangkah. Pula mengejar hal yang sulit untuk sekedar singgah. Meski duri menembus kakiku hingga berdarah darah. (NWS)